Senin, 09 Maret 2009

Kesaksian dr Sahudi SpB(K) Delapan Hari di Gaza, Palestina

BSMI SURABAYA PEDULI KEMANUSIAAN

Salah satu relawan Indonesia yang melakukan tugas kemanusiaan di Gaza, Palestina, tercatat atas nama dr Sahudi SpB(K)KL. Dia tergabung dalam tim BSMI (Bulan Sabit Merah Indonesia). Cuma delapan hari, namun dapat banyak pengalaman berharga.
Kedua kakinya melepuh dan gosong. Asap hitam mengepul dari luka bakar itu. Ibu 22 tahun tersebut terus mengerang ketika tiba di Rumah Sakit Asy-Syifa', Gaza, tiga jam perjalanan dari tempat dia terkena bom fosfor putih.
Tim dokter bergerak cepat. Kedua kaki itu dibasuh dengan cairan infus antibiotika. Total menghabiskan sekitar sepuluh botol infus sekali pembilasan. Meski telah dibasuh cairan dingin, asap hitam masih juga mengepul dari kaki itu. Dokter lantas mengoleskan salep dan membungkus kaki itu dengan perban.
Sekitar 24 jam kemudian perban dibuka. Tapi, kepulan asapnya belum juga hilang. Protokol yang sama diulang dari awal. Cuci bersih dengan antibotika, lalu disalep dan diperban.
Efek bakar bom fosfor memang tidak gampang dihentikan. Sebab, ''Bom itu terdiri atas zat kimia yang langsung bereaksi jika kena oksigen,'' tutur dr Sahudi, spesialis bedah kepala leher dari RSU dr Soetomo yang baru pulang dari Gaza, 7 Februari lalu.
Jika bom itu mengenai makhluk hidup, daging, otot, dan tulangnya akan terbakar hebat. ''Perempuan itu singkat saja mengungkapkan perasannya: Sakitnya luar bisa!'' tutur Sahudi yang bertemu wanita itu di Asy-Syifa'.
Menurut penghitungan dokter Asy-Syifa', sekitar 250 orang Gaza mengalami kejadian serupa. ''Hampir 80 persen yang kena (bom fosfor, Red) langsung meninggal. Sebab, muntahan panas fosfor membakar kepala dan tangannya,'' kata Sahudi.
Pria 43 tahun itu merasa beruntung bisa berada di teritorial konflik tersebut. ''Tidak mudah masuk ke wilayah itu. Saya dan teman-teman menamakan perjalanan itu long road to Gaza,'' paparnya.
Sahudi bertolak ke Kairo, Mesir, pada 24 Januari bersama tujuh dokter lain. Ada spesialis ortopedi, psikiater, obgyn (kandungan), anastesi, dan avasinolog (sejenis ilmu akupunktur, namun tidak memakai jarum).
Selain Sahudi, dari RSU dr Soetomo ada dr Jamaludin SpM. ''Ada pula tenaga logistik dan sarjana kesehatan masyarakat dari BSMI. Total sepuluh orang yang berangkat waktu itu,'' jelasnya. Mereka membawa bantuan berupa tiga ambulans dan satu kontainer obat-obatan.
Pada 26 Januari, rombongan tiba di Kairo. Mereka langsung bertolak menuju Rafah, perbatasan Mesir-Gaza. Jarak dari Kairo ke Rafah sekitar 400 km yang ditempuh sekitar enam jam.
Setelah melalui proses administrasi yang ruwet dan tidak ramah, rombongan diperkenankan masuk pada 27 Januari. Mereka menempuh perjalanan darat sepanjang 40 km. Jalanan sempit. Daerah Dyaral dan Balan harus dilalui dengan kecepatan tinggi.
Kendaraan melaju rata-rata 120 km/jam untuk mengantisipasi adanya bom dan penembak jitu (sniper). Begitu juga ketika lewat pinggir laur Mediterania di wilayah Khan Yunis. ''Saya dengar nelayan lokal saja ditembaki sampai tewas. Betul-betul tidak ada jaminan,'' kata Sahudi.
Setiba di Gaza, rombongan mendapat sambutan ramah. Semua urusan administrasi ditangani sampai tuntas. Humas pemerintah Gaza pun dengan sangat sopan mengucapkan banyak terima kasih atas kedatangan tamu jauhnya itu. ''Kami disuguhi kurma dan teh. Sungguh Gaza yang sangat memesona,'' kata Sahudi. Kontras dengan perlakuan petugas imigrasi Mesir.
Hari kedua, rombongan berkoordinasi dengan Dr Mirhad Abbas, direktur kerja sama luar negeri Kementerian Kesehatan Gaza, untuk mencari tahu, apa yang bisa mereka lakukan selama berada di sana.
Hari selanjutnya Sahudi berkunjung ke RS Mahmud bin Rasyid. ''Saya terbelalak melihat peralatan di RS itu yang canggih. Setting tata ruang kamar jelas dipikirkan matang oleh desainernya,'' paparnya. Contohnya, ruang persalinan yang amat bagus. Ruang itu memberikan privasi yang sangat luas bagi ibu-ibu melahirkan. ''Kalau ada ibu sedang ngeden (mengejan, Red) dalam proses persalinan, dijamin ibu lain di sebelahnya tidak mendengar. Kan berbeda dengan RS di sini,'' lanjut Sahudi.
Sahudi dan rombongan baru bertugas pada hari keenam dan ketujuh. Namun, pasien yang ditangani bukan korban perang. ''Jumlah dokter di Gaza cukup banyak. Mereka juga cekatan sekali. Jadi, dalam tempo singkat, pasien perang sudah habis,'' katanya.
Total Sahudi hanya mengoperasi dua bocah yang sama-sama menderita hernia. Meski begitu, dia mendapat banyak pengetahuan lain. Misalnya, kekuatan mental penduduk Gaza dalam menghadapi perang.
Juga pandangan penduduk Gaza tentang kematian. Berbagai risiko yang mungkin dialami manusia semisal kehilangan, sakit, bahkan mati, dimaknai dengan sangat indah. ''Ada anak lelaki kecil yang saya ajak bicara tentang bagaimana perasaannya tentang perang di negerinya itu. Dengan enteng dia menjawab, perang itu biasa,'' kata dokter ramah itu. ''Meski ada kesempatan, dia mengaku tidak mau pindah rumah karena harus menjaga tanah airnya,'' lanjutnya.
Ketika perang dihentikan sementara, beberapa pasangan memanfaatkan kesempatan itu untuk menikah. Penduduk Gaza juga mencintai pendidikan. Ada dokter Gaza bercerita pada Sahudi bahwa semua keluarganya sarjana.
Jumlahnya enam wanita dan enam pria. Namun, hidupnya biasa-biasa saja. ''Hal itu juga tampak dari perilaku anak-anak mudanya yang semangat bersekolah. Mereka sudah menuju ke tempat-tempat pendidikan saat matahari belum terbit dan suhunya mencapai 11-12 derajat Celsius,'' tuturnya.
Pengamatan lain terekam oleh Sahudi adalah sedikit sekali penduduk Gaza yang mengalami stres meski kondisi awut-awutan. Buktinya, satu rumah sakit jiwa hanya berisi 18 orang. ''Sudah sejak 18 tahun lalu saya ingin merasakan pengalaman ini. Sebab, dulu gerakan Intifadah yang banyak disiarkan media menurut saya sangat heroik. Saya beruntung bisa berada di sana,'' ujarnya.
Sayang, dokter yang mengaku hobi mengunjungi tempat-tempat bencana itu diharuskan keluar Gaza sebelum 5 Februari. Sebab, pintu gerbang Rafah akan ditutup permanen. Yang berada di Gaza tidak bisa keluar. Sebaliknya yang dari luar, tidak boleh masuk. ''Kami akhirnya keluar juga. Padahal, saya izin ke RSU dr Soetomo tiga minggu sampai sebulan,'' katanya. Karena itu, tim BSMI kelompok ketiga yang datang setelah 5 Februari, sampai sekarang tidak bisa masuk Gaza. (cfu)

Sumber tulisan : Ahmad Ainur Rohman, Jawapos, 20 Februari 2009, Halaman Metroplis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

VIDEO BSMI DI BANJIR BOJONEGORO 2009 (1)

VIDEO BSMI DI BANJIR BOJONEGORO 2009 (2)

PEDULI BANJIR BOJONEGORO

PEDULI BANJIR BOJONEGORO

PEDULI BANJIR BOJONEGORO 2

PEDULI BANJIR BOJONEGORO 2

BSMI JUGA PEDULI BANJIR PASURUAN JANUARI 2009

BSMI JUGA PEDULI BANJIR PASURUAN JANUARI 2009
SALURKAN BANTUAN MELALUI REKENING BSMI Bank Muamalat Indonesia: 701 005 2115 (an. Bulan Sabit Merah Indonesia). BSMI KIRIM TIM MEDIS UNTUK KORBAN BANJIR PASURUAN 29 JANUARI 2009

BSMI SURABAYA PEDULI PALESTINA

BSMI SURABAYA PEDULI PALESTINA

BSMI Berangkat ke Gaza

Get the Flash Player to see this player.
Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI), Kamis (1/1) mengirimkan tim medis, dana kemanusiaan dan obat-obatan ke Palestina.

BSMI sendiri mengirimkan 2 dokter ahli ke Palestina, yang bertugas membantu korban sipil Palestina yang mengalami luka-luka akibat serangan biadab Israel.

Ketua Umum BSMI dr. Basuki Supartono menyatakan, tim BSMI berangkat ke Palestina merupakan delegasi dari pemerintah.

Tim BSMI akan membawa dana kemanusian, obat-obatan vitas seperti antibiotik, anti tetanus, antinyeri dan obat ortopedi untuk trauma perang. Obat-obatan itu untuk kondisi darurat.

Selain itu dr. Basuki menyatakan, pihaknya telah mengumpulkan dana kemanusian sebanyak Rp 350  juta. Dana itu akan langsung diserahkan kepada korban warga Palestina ataupun untuk keperluan medis.

| Rep/Kam: Alam | Penulis: Syarif | VO:Maya | Editor Video:Uche |

DERITA KEMANUSIAAN DI PALESTINA 2009

BSMI DI SELURUH INDONESIA

Blokade Ekonomi di Gaza 2006-2008

DERITA RAKYAT GAZA AKIBAT BLOKADE ISRAEL

Tahun 2006 : Pangabdian Tim BSMI Ke Lebanon

Tahun 2006 : Pengabdian Tim BSMI ke Lebanon (2)

Tahun 2006 : Pengabdian Tim BSMI ke Lebanon (3-Habis)